Refleksi Hardiknas 2021; Bahagia Belajar, Bahagia Mengajar

- Minggu, 2 Mei 2021 | 07:00 WIB
Aji Mirni Mawarni.
Aji Mirni Mawarni.

 

Catatan Aji Mirni Mawarni 

(Anggota DPD RI Dapil Kaltim)

 

MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim - yang beberapa hari lalu mengemban amanah tambahan sebagai Mendikbud Riset dan Teknologi (Ristek) - telah mencanangkan “Merdeka Belajar” sebagai konsep pendidikan nasional sejak akhir 2019.

Namun pola itu belumlah cukup. Seluruh elemen yang berada dalam lingkaran pendidikan dan pembelajaran perlu menambah satu variabel penting; kebahagiaan. Sehingga, proses belajar dan mengajar bisa dilakukan dengan bahagia.

Dengan variabel kebahagiaan, para pelajar akan lebih menikmati proses membangun learning attitude di atas learning skills-nya. Dan para pengajar akan menikmati proses membangun teaching attitude di atas teaching skills-nya.

Pandemi Covid-19 telah mengubah wajah dunia, termasuk sektor pendidikan. Alih-alih merdeka belajar, pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang berkepanjangan seolah menjadi “penjara digital” baru. Para siswa sibuk menatap gadget dengan tugas-tugas menumpuk. Sedangkan para guru dituntut membuat bahan ajar digital yang “harus menarik” dan tetap edukatif.

Apakah Anda tahu bagaimana rumitnya membuat bahan ajar digital? Informasi dari rekan yang biasa mengolah video, dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk membuat video edukasi berdurasi singkat. Prosesnya kompleks; mengumpulkan materi, menyusun materi agar easy understanding, meng-input audio, teks, dan visualiasi, hingga editing akhir. 

Para guru harus mengemban beban kerja berlebih karena perubahan cara kerja yang signifikan. Padahal mereka juga orangtua, yang harus mendampingi anak-anaknya. Guru juga bisa mengalami penurunan motivasi karena kondisi sosial emosional, serta tak ada akses peningkatan kompetensi.

Pada sisi lain, begitu banyak testimoni bahwa PJJ begitu menjemukan bagi anak, plus melelahkan bagi orangtua. Ada beragam cerita dan “derita” yang terungkap di dunia nyata dan maya. 

Misalnya, sang ibu hanya punya 1 ponsel namun harus aktif di beberapa grup kelas anak di waktu yang nyaris bersamaan; dengan keterbatasan paket data, memory internal, dan “kegaptekan”. Banyak pula fenomena anak asyik nge-mal, nge-game, dan ngumpul di tengah kejenuhan PJJ.

Hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), April 2020, menunjukan banyak murid mengeluhkan PJJ. Alasannya, keterbatasan kuota, peralatan tidak memadai, tak memiliki laptop/PC, tugas berat dan menumpuk dengan limit waktu sempit, hingga kurang istirahat dan kelelahan.

Tantangan lebih besar muncul ketika PJJ diterapkan di daerah dengan infrastruktur IT yang terbatas. Terutama di daerah pelosok Kaltim yang minim fasilitas pendidikan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebelum pandemi pun, dunia pendidikan telah memiliki banyak permasalahan.

Halaman:

Editor: Wawan-Wawan Lastiawan

Tags

Rekomendasi

Terkini

PLN dan PWI Kalteng Gelar Donor Darah

Kamis, 29 Februari 2024 | 10:23 WIB
X