Mengembalikan Khitah ICJS

- Jumat, 11 September 2020 | 14:33 WIB
Prof. Dr. Agus Surono, SH, MH
Prof. Dr. Agus Surono, SH, MH

RENCANA pembahasan RUU Kejaksaan sebagai revisi atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pertama kali disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Senin (31/8). Salah satu alasan penting yang mendorong revisi UU Kejaksaan karena Indonesia telah meratifikasi sejumlah konvensi, seperti United Nations Against Transnational Organized Crime (UNTOC) dan United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC). Rencana perubahan itu utamanya terkait independensi dalam penuntutan, akuntabilitas penanganan perkara, standar profesionalitas, dan perlindungan bagi para jaksa.

Rencana revisi UU Kejaksaan dapat dimaknai dari beberapa sudut pandang. Dalam perspektif hukum acara pidana secara lebih khusus dan juga perspektif hukum secara lebih luas, sebagai salah satu tujuan negara hukum yang harus diwujudkan, harus dimaknai sebagai sebuah upaya untuk mengembalikan fungsi dan makna sebenarnya dari Integrated Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana Terpadu) kepada khitahnya.

Terdapat beberapa permasalahan yang akan penulis uraikan: pertama, soal hakekat dan esensi ICJS atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu sebagai upaya perwujudan konsep Negara hukum, kedua soal yang berkaitan dengan kedudukan dan peran Kejaksaan sebagai sub sistem peradilan pidana terpadu dalam penegakan hukum yang diharapkan dalam konsep Negara hukum Indonesia, ketiga bagaimana solusi kedepan untuk mengembalikan hakikat fungsi kejaksaan dalam penuntutan perkara pidana dalam bingkai kekuasaan kehakiman.

Adanya perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diamandemen terakhir, membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman (judicative power). Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggara kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Memperhatikan dinamika perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan juga Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, serta berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan, maka Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu dilakukan perubahan secara komprehensif dengan membentuk undang-undang yang baru.

ICJS dalam perspektif hukum acara pidana di Indonesia terdiri dari beberapa sub sistem, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Advokat, Hakim, dan ditambah KPK. Kelima lembaga penegak hukum tersebut dalam praktiknya sangat saling mempengaruhi hasil dari proses penegakan hukum dalam perkara pidana, baik pidana umum maupun tindak pidana khusus, termasuk dalam penanganan perkara korupsi.

Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang merupakan salah satu sub sistem dalam sistem peradilan pidana terpadu, dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali terhadap kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut di atas.

Sebagai salah satu sub sistem dalam sistem peradilan pidana terpadu, Kejaksaan mempunyai tugas pokok untuk melakukan penuntutan perkara pidana. Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu, dalam proses penegakan hukum pidana juga sangat ditentukan oleh susb sistem lainnya yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Advokat, Hakim, serta saat ini KPK yang mempunyai kewenangan selain melakukan penyidikan, penuntutan dan juga supervisi perkara pidana korupsi.

Kejaksaan sebagai sub sistem peradilan pidana yang mempunyai kewenangan utama untuk melakukan proses penuntutan perkara pidana, mempunyai peran sentral untuk membuktikan dakwaan yang telah diajukan di pengadilan. Kesalahan atau ketidakcermatan dalam pembuatan surat dakwaan, pada akhirnya dapat mempengaruhi putusan yang akan dijatuhkan oleh Majelis Hakim.

Di samping untuk melakukan proses penuntutan, Jaksa juga mempunyai kewenangan lainnya untuk memberikan advis kepada penyidik terhadap BAP yang dilimpahkan oleh Penyidik dari hasil proses penyidikan. Petunjuk dari Jaksa tersebut sangat penting untuk perlu-tidaknya bukti-bukti yang harus disiapkan oleh Penyidik, sebagaimana esensi dari proses penyidikan tujuannya untuk mencari dan menemukan minimal dua alat bukti dan selanjutnya dengan minimal dua alat bukti tersebut dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan tersangka.

Dengan demikian dalam sistem peradilan pidana terpadu tersebut, hubungan koordinatif merupakan hal yang sangat penting dan saling mendukung. Bahkan di Negara Skandinavia seperti di Norwegia yang penulis pernah belajar short course di Negara tersebut, kepolisian Negara tersebut berada di bawah koordinasi Kejaksaan. Dengan demikian penegakan hukumnya sangat dipengaruhi oleh bekerjanya sub sistem dalam sistem tersebut.    

Masih adanya tarik menarik kepentingan dalam proses penegakan hukum antara oknum-oknum aparat penegak hukum dalam berbagai sub sistem dalam sistem peradilan pidana terpadu, akan sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas dalam proses penyelesaian perkara pidana, sebagai upaya memberikan kepastian hukum dan keadilan hukum tidak hanya bagi para pencari keadilan/publik atau masyarakat tetapi juga bagi tersangka/terdakwa sendiri.

 

SOLUSI KEDEPAN

Halaman:

Editor: windede-Win Dede

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X