Banjir dan Kita

- Kamis, 13 Juni 2019 | 08:25 WIB

                                  Oleh: Dewi Sartika, SE., MM

Peneliti Muda pada Pusat Pelatihan dan Pengembangan dan Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah -Lembaga Administrasi Negara – Republik Indonesia (Puslatbang KDOD - LANRI)

 

 

Di saat semestinya bersukaria menyambut Hari Raya Kemenangan Idulfitri, sejumlah warga di Samarinda, Bontang, Kutai Kartanegara, dan lainnya justru berkutat dengan banjir yang hampir menenggelamkan rumah dan fasilitas di dalamnya. Dalam beberapa pantauan media massa, ketinggian banjir tercatat hampir mencapai 2 (dua) meter dan merendam ratusan rumah.

Di Samarinda, banjir disinyalir terjadi karena meluapnya Sungai Mahakam dan Sungai Karang Mumus ditambah guyuran hujan deras selama kurang lebih 3 hari. Sejumlah warga terpaksa mengungsi di beberapa posko pengungsian dibantu tim SAR. 

Banjir merupakan fenomena alam, yang tersebab dua kategori yaitu banjir akibat alami dan banjir akibat aktivitas manusia. Banjir akibat alami dipengaruhi curah hujan, fisiografi, erosi dan sedimentasi, kapasitas sungai, kapasitas drainase dan pengaruh air pasang.

Banjir akibat manusia disebabkan ulah manusia yang menyebabkan perubahan lingkungan seperti perubahan Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan pemukiman di sekitar bantaram, rusaknya drainase lahan, kerusakan bangunan pengendali banjir, rusaknya hutan (vegetasi alami), dan perencanaan sistem pengendali banjir yang tidak tepat (Sebastian, 2008). Banjir berdampak luas pada terganggunya perekonomian dan tata kehidupan masyarakat.

Fenomena banjir menjadi permasalahan klasik perkotaan karena hampir setiap kota besar di Indonesia menghadapi permasalahan tersebut.

Pendekatan yang  umumnya dilakukan oleh pemerintah dalam pengelolaan banjir adalah dengan pendekatan teknis, yakni dengan melakukan normalisasi sungai dan drainase, pembuatan kanal dan daerah reservoar/ waduk, dan sejenisnya.

Dalam konteks tersebut, semua permasalahan perkotaan seolah menjadi tanggung jawab dan beban pemerintah, padahal dalam konsep Good Governance disebutkan bahwa pilar pembangunan terbentuk oleh peran pemerintah yang didukung oleh partisipasi masyarakat dan swasta.

Lembaga Administrasi Negara memberikan pengertian “good governance yaitu penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat” (Sedarmayanti, 2012).

Pengertian good governance kini telah mengalami perluasan makna hingga pada aspek berfungsinya pasar dan sektor swasta serta partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan. Jika mengacu pada prinsip Good Governance, maka langkah penyelesaian permasalahan perkotaan seperti banjir kiranya dapat disinergiskan dengan melibatkan unsur swasta dan partisipasi masyarakat.

Karena pengelolaan masalah banjir tidak hanya menjadi beban pemerintah dengan menggunakan pendekatan teknis semata, tetapi juga dapat dilakukan dengan upaya pemberdayaan masyarakat, sebagai langkah edukatif-preventif atau mengoptimalkan kesadaran manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. 

Halaman:

Editor: Wawan-Wawan Lastiawan

Tags

Rekomendasi

Terkini

PLN dan PWI Kalteng Gelar Donor Darah

Kamis, 29 Februari 2024 | 10:23 WIB
X