ThorCon Siap Investasi Rp 13 Triliun

- Rabu, 27 Februari 2019 | 23:19 WIB
Kepala Perwakilan Thorcon Indonesia, Bob S Effendi
Kepala Perwakilan Thorcon Indonesia, Bob S Effendi

BALIKPAPAN – Indonesia darurat energi. Bahkan hingga kini belum ditemukan solusi yang permanen. Terhadap beberapa permasalahan sektor kelistrikan. Dengan energi baru terbarukan pun dianggap hanya sebagai solusi tambal sulam.

Sementara menurut laporan asosiasi penambang batu bara, berdasarkan kajian yang di lakukan oleh PriceWater House Copper (PWC), batu bara Indonesia hanya cukup sampai tahun 2033. 

Dari berbagai kajian yang di lakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang ditulis dalam BPPT Energy Outlook 2016, Indonesia pada tahun 2029 akan menjadi net importir energi dan total cadangan fosil (batu bara, minyak dan gas) tidak akan mencukupi sampai 2040.  

“Artinya pada tahun 2040 Indonesia harus mengimpor hampir 70 persen dari energi primer. Ini bukanlah sebuah masa depan yang baik bagi pertumbuhan ekonomi,” kata Kepala Perwakilan Thorcon Indonesia, Bob S Effendi, dalam sebuah diskusi dengan para milenial di Digital Lounge Telkom Balikpapan, 19 Februari lalu.    

Menurut BPPT Outlook 2018, Indonesia sesungguhnya sudah dapat dikatakan darurat energi dan untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) 8.000 MW sampai pada 2050. PLTN dianggap solusi akhir. Karena mampu menyediakan apa yang menjadi syarat penggerak ekonomi.

-

Thorium Molten Salt Reactor (TMSR) 500MW

 

Pertama harus bisa bekerja 24 jam tanpa tergantung dengan cuaca, kemudian stabil baik frekuensi dan voltase, dan yang terpenting murah atau terjangkau. Bila kemudian dimasukan bersih sebagai syarat maka yang lolos adalah hydro, geothermal dan nuklir.

Namun disebut Bob, hydro dan geothermal sangat location depended. Sementara nuklir dapat dipasang di mana saja atau mendekati beban. Bahkan PLTN generasi maju lebih murah dibandingkan keduanya. Memiliki foot print yang sangat kecil. Sehingga tidak membutuhkan lahan yang luas seperti large hydro. 

“Sehingga dapat dikatakan PLTN lebih ramah lingkungan,” ujar pakar energi nuklir yang sudah menggeluti sektor energi selama 25 tahun itu.

Jika dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, memang PLTN konvesional sangat mahal. Tetapi desain milik Thorcon dapat lebih murah dari pada PLTU batu bara. Dengan biaya sekitar USD 1,2 juta per MW dengan biaya produksi listrik lebih murah dari PLTU. 

“Sehingga dapat menekan BPP (biaya pokok penyediaan) pembangkitan listrik nasional,” kata anggota Pokja ESDM KEIN RI itu. 

BPP selama ini menjadi pemicu naiknya inflasi yang akhirnya menggerus daya beli masyarakat serta melemahkan daya saing industri. Apalagi dengan PLTN generasi IV seperti molten salt reactor yang populer dengan nama PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga Thorium) yang akan di bangun Thorcon dengan investasi USD 935 Juta atau sekitar Rp13 Triliun untuk membangun PLTT 2 X 500 MW melalui skema independent power producer (IPP) dengan target harga jual listrik di bawah BPP Nasional antara 6 – 7 sen per kwh.

Halaman:

Editor: Wawan-Wawan Lastiawan

Tags

Rekomendasi

Terkini

PLN dan PWI Kalteng Gelar Donor Darah

Kamis, 29 Februari 2024 | 10:23 WIB
X