ADA hal yang membuat Supian Hadi, Bupati Kotawaringin Timur (Kotim), mempunyai kesamaan dengan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Rita Widyasari. Keduanya sama-sama kepala daerah berusia muda, sama-sama pula memiliki hobi bermusik.
Dalam berbagai kesempatan, Supian Hadi acap ditanya: “Kenapa anda membuat lagu dan bermusik? Sementara daerah anda banyak masalah?” Bupati termuda di Kalimantan Tengah itu menjawab: “Justru itulah (bermusik, Red.) menjadi penyaluran untuk menjaga keseimbangan dalam jiwa dan pikiran saya”. Supian benar. Hampir setiap pejabat publik menemukan dan memilih caranya sendiri untuk “escape” dari berbagai tekanan dan ketegangan. Ada yang hobinya memancing berjam-jam, menanam dan merawat tanaman, mengendarai motor besar, berolahraga, dan sebagainya.
Mereka yang mengkritik kesenangan bermusik SHD, demikian short code Supian Hadi lupa bahwa dengan menggubah lagu itulah Supian Hadi mendapat “stress release”. Bagi orang-orang dekat di lingkaran SHD, apapun yang menghilangkan stres SHD akan berdampak baik bagi kejernihan pikirannya, dan bagi pertimbangan dalam mengambil keputusan. Dan karenanya, baik pula bagi daerah.
Penting sekali bagi seorang kepala daerah untuk selalu berada dalam kondisi fisik dan mental yang prima. Apakah melalui bermusik, berolahraga, berwisata, menulis puisi, humor, atau apapun kesenangan itu.
Ada banyak cara untuk “be yourself”. Salah satunya adalah kemampuan untuk melepaskan perasaan di hati pada momen-momen tertentu. Ketika pikirannya sedang kusut, ajudan dan orang-orang dekat SHD kerap melihat atasannya itu mengambil gitar, kertas, pensil dan mulai gonjrang-ganjreng. Hampir 90 persen gubahan lagu karya SHD adalah ungkapan perjalanan kehidupannya. Kebiasaan ini sudah lama sekali, sejak Supian Hadi menginjak usia remaja.
Pada usia 10 tahun, SHD sudah akrab dengan alat musik gitar. Kala itu, SHD muda mengidolakan Godbless, grup band yang dimotori Ahmad Albar. Sebagai kepala daerah yang dianugerahi talenta bermusik, SHD sangat produktif. Setidaknya sudah tercipta 64 judul lagu, dan beberapa di antaranya melejit menjadi hits di kancah industri musik nasional.
Kebetulan, saya juga mencermati tayangan-tayangan infotainment di beberapa stasiun televisi nasional. Musikalitas seorang SHD dengan grup band SAHATI-nya telah menarik perhatian musisi dan penyanyi nasional. Lagu berjudul “Menjauh Darimu” misalnya, seringkali dijadikan backsound tayangan-tayangan infotainment. Lagu yang telah menjadi hits itu juga terserak di sosial media Youtube. Juga bisa diunduh secara gratis pada sejumlah portal online yang menyajikan lagu-lagu hits nasional dan mancanegara.
Melalui kesenangan bermusik, secara langsung SHD dan Rita telah mempromosikan Kota Sampit dan Tenggarong kepada khalayak nasional, bahkan internasional. Kedikenalan Kota Sampit akibat tragedi etnis sudah seharusnya dikikis secara masif. Informasi mengenai sisi kelam “Tragedi Sampit” sudah selaiknya tergantikan oleh informasi-informasi lain yang lebih baik. Tumpukan posting informasi mengenai industri kreatif, daya tarik investasi, seni dan budaya, kepariwisataan harus bisa menggulung informasi kelam mengenai Sampit.
Bayangkan, hanya untuk mempromosikan Kota Tenggarong melalui event musik, Rita Widyasari harus mengeluarkan kocek pribadinya hingga miliaran rupiah. Bupati perempuan pertama di Kalimantan Timur itu memang dikenal jamak mengeluarkan miliaran rupiah dari kocek pribadinya untuk menalangi sejumlah kegiatan yang tidak ditanggung APBD.
Kukar Rockin Fest dan Rock in Women Day merupakan dua event tahunan yang selalu digelar di Kota Raja, Tenggarong. Sabtu (7/3) pekan lalu, Kukar Rockin Fest (KRF) 2015 kembali mendatangkan megaband dunia asal Amerika Serikat, Firehouse. Ini bukan kali pertama KRF mendatangkan megaband dunia. Pada KRF tahun-tahun sebelumnya, megaband dunia seperti Sepultura dan Halloween telah tampil lebih dulu. Sosok “Bunda Rocker” tersebut diakui sangat membantu perkembangan musik rock di Indonesia, terutama Kaltim.
Rita menganalogikan musik rock adalah bagian dari dunia seni yang kadang menjadi satu-satunya media ekspresi yang mampu menyuarakan persoalan-persoalan pemerintah, ekonomi, dan masyarakat. “Yang pasti, musik rock terbebas dari tendensi dan kepentingan apapun,” ucap Rita (Kaltim Postedisi 7 Maret 2015).
Melihatnya dari aspek biaya produksi untuk mempromosikan daerah melalui aktivitas bermusik, tentu saja SHD lebih efisien dibandingkan Rita Widyasari. Bicara mengenai gaung kekuatannya, gaung resonansi SHD dan SAHATI Band tak kalah dahsyat.(jid/adv)