SAMARINDA - Proses pengadaan tanah atas nama pembangunan yang berlangsung di Bendungan Bener yang menyangkut rencana Penambangan Batuan Andesit di Wadas telah memicu kontestasi antara Negara versus Rakyat dimana Negara menggunakan kuasa eksklusi melalui modal kekuasaan kultural, kapital, dan simbolik.
Sementara warga Wadas berjuang melawan Negara dengan menggunakan modal sosial dan aksi kolektif warga atau komunitas. Penundukkan warga melalui kekuasaan Negara telah sukses mendulang peralihan lahan dari tangan Rakyat ke Negara.
Demikian hal ini disampaikan Dr. Rina Mardiana, dari Pusat Studi Agraria IPB sekaligus juga pejabat di Badan Pengembangan Kampus Berkelanjutan IPB saat siaran pers akademisi peduli Wadas di youtube, Selasa 5 September 2023.
Turut dalam pernyataan siaran pers dari Akademisi Peduli Wadas, Dr. Rikardo Simarmata (Ketua Pusat Kajian Djojodigoeno FH UGM), Dr. Herdiansyah Hamzah (Ketua Pusat Studi Anti Korupsi FH UNMUL), Dr. Rina Mardiana (Dewan Penasehat Pusat Studi Agraria IPB dan Badan Pengembangan Kampus Berkelanjutan IPB)), Dr. Dhia Al Uyun (Ketua Serikat Pekerja Kampus, Dosen FH UB), dan Dr. Herlambang P. Wiratraman (Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM).
"Wadas merupakan situs yang mempertunjukkan kelindan relasi kekuasaan dan paradigma pembangunan (pertumbuhan ekonomi) hingga terjadinya krisis sosio agraria-lingkungan di tingkat tapak. Melalui Wadas, kita bisa melihat, bagaimana mekanisme pengadaan tanah bagi pembangunan yang menggunakan instrumen kebijakan Negara dan melalui pengerahan aparatus Negara; dan kedua, sejauh mana dampak krisis sosio agraria-lingkungan terhadap konflik sosial vertikal dan horizontal di masyarakat," ujarnya.
Akademisi Peduli Wadas, telah melaksanakan upaya menguji putusan (Eksaminasi) dan menguji AMDAL Bendungan Bener yang menyangkut rencana Penambangan Batuan Andesit di Wadas. Keduanya dilakukan tahun lalu, di di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), 9 Maret 2023.
Dalam perkembangan terakhir, warga Wadas pejuang lingkungan yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) kembali mendapatkan tekanan dari undangan kantor pertanahan, terkait “musyawarah” untuk persetujuan pelepasan hak tanah dalam rangka penambangan andesit.
Undangan dari Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo, melalui surat Nomor 2175 1/UND-33.06.AT.02.02/VIII/2023 tertanggal 29 Agustus 2023, diselenggarakan Kamis, 31 Agustus 2023. Poin dalam undangan menyatakan bahwa warga yang tidak hadir akan dianggap menerima bentuk dan besaran ganti kerugian.
Di hari pertemuan, seakan tidak ada pilihan, warga Desa Wadas pejuang lingkungan berarak menuju Balai Desa Wadas untuk memenuhi undangan. Dikabarkan, pada hari yang sama juga puluhan polisi dari Polres Purworejo, Bintara Pembina Desa, dan sejumlah tentara mengepung Balai Desa Wadas.
Menjelang pertemuan, perwakilan dari Kantor Pertanahan bersikukuh warga harus menandatangani daftar kehadiran jika acara hendak dimulai. Namun, warga menolak karena belajar dari pertemuan April 2018 lalu, tanda tangan kehadiran disalahgunakan sebagai bukti persetujuan warga atas rencana penambangan. Warga Wadas menandatangani daftar hadir, sebelum acara berlangsung.
Kehadiran warga, seakan bukan lagi musyawarah, tak ada opsi, termasuk untuk menolak bentuk dan besaran ganti kerugian, semua merasakan terpaksa mengikuti prosedur yang ditentukan sepihak oleh pemerintah. Warga diwajibkan hadir.
Bila warga tidak hadir, mereka dianggap setuju perihal pemberian ganti rugi (Peraturan Menteri ATR Nomor 19 Tahun 2021). Instansi pemerintah di Jawa Tengah mengabarkan bahwa “warga Desa Wadas telah secara mufakat setuju dengan penambangan batu andesit untuk material kebutuhan proyek Bendungan Bener. Padahal, warga menyatakan, tatkala musyawarah berlangsung, warga tetap saja dipaksa untuk menerima pemberian ganti rugi. Tidak ada ruang bagi warga untuk menolak.
Klaim sepihak Pemerintah tersebut, jelas bertentangan dengan kenyataan bahwa warga Wadas pejuang lingkungan penolak tambang masih konsisten menolak rencana penambangan. Terlebih, Surat Keputusan Gubernur Jawa tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaharuan atas Penetapan Lokasi (IPL) Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah justru telah habis pada tanggal 7 Juni 2023.
Akademisi Peduli Wadas berpendapat, surat undangan yang dilayangkan beserta intimidasi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo sama sekali tidak memiliki legitimasi hukum. Di tengah penolakan warga dan Izin Penetapan Lokasi (IPL) yang telah habis, pemerintah terus memaksa warga menyerahkan tanahnya, melanjutkan proyek, dan terus menebarkan ancaman konsinyasi.
Sementara itu, Dr. Herdiansyah Hamzah, dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman menyatakan ancaman konsinyasi jelas adalah cara kotor pemerintah untuk merampas tidak hanya tanah warga wadas, tapi juga ruang hidup serta masa depan anak cucu mereka.
Bahkan secara prinsip, metode konsinyasi tidak dikenal dalam rezim pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pertama, Pasal 42 ayat (2) UU a quo menyebutkan bahwa konsinyasi hanya bisa dilakukan jika “penerima yang berhak” tidak diketahui keberadaannya, atau objek tanah sedang dalam perkara di pengadilan, masih dalam sengketa kepemilikan, diletakkan sita oleh pejabat berwenang, dan/atau masih menjadi jaminan bank.
"Dengan demikian, maka sikap warga Desa Wadas yang menolak pertambangan batuan andesit tersebut tidaklah memenuhi klausul persyaratan konsinyasi. Kedua, Pasal 10 UU a quo secara eksplisit menyebutkan bahwa kegiatan pertambangan tidak termasuk dalam objek peruntukan pembangunan untuk kepentingan umum," ujar Herdiansyah Hamzah.
Dikatakan Herdiansyah, kegiatan pertambangan bukanlah bagian dari objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Berdasarkan kedua alasan tersebut, maka upaya konsinyasi yang hendak dilakukan oleh pemerintah, jelas bentuk intimidasi yang bertujuan untuk merampas tanah dan ruang hidup warga Desa Wadas.” (myn)