Bupati Kepulauan Meranti, Kepala Daerah ke-10 di Provinsi Riau yang Jadi Tersangka KPK

- Minggu, 9 April 2023 | 11:14 WIB
Bupati Meranti Muhammad Adil dikawal petugas usai operasi tangkap tangan (OTT) setibanya di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rasuna Said, Jakarta, Jumat (7/4/2023). M. Adil bersama sejumlah pihak diamankan penyidik KPK terkait dugaan suap pemotongan uang persediaan (UP) dan ganti uang persediaan (GUP) umrah sebesar 5-10 persen. (Fedrik Tarigan/ Jawa Pos )
Bupati Meranti Muhammad Adil dikawal petugas usai operasi tangkap tangan (OTT) setibanya di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rasuna Said, Jakarta, Jumat (7/4/2023). M. Adil bersama sejumlah pihak diamankan penyidik KPK terkait dugaan suap pemotongan uang persediaan (UP) dan ganti uang persediaan (GUP) umrah sebesar 5-10 persen. (Fedrik Tarigan/ Jawa Pos )

 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil sebagai tersangka. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, Muhammad Adil merupakan kepala daerah ke-10 di Provinsi Riau yang menyandang status tersangka KPK.
 
"Penetapan tersangka dan ditahannya Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil oleh KPK menambah rentetan panjang praktik korupsi kepala daerah di Provinsi Riau," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Minggu (9/4).
 
Berdasarkan catatan ICW, sejak 2007 hingga 2023, setidaknya 10 kepala daerah Riau yang terdiri dari 3 orang gubernur, 6 orang bupati, dan 1 wali kota sudah diciduk KPK karena melakukan praktik korupsi.
"Setelah dijumlah, praktik korupsi yang dilakukan oleh 10 kepala daerah itu telah mengakibatkan kerugian negara Rp 2,2 triliun dan suap/gratifikasi sebesar Rp 18,5 miliar," ucap Kurnia.
 
Kurnia mengungkapkan, maraknya kepala daerah di Provinsi Riau yang terlibat praktik korupsi harus disikapi secara serius oleh pemangku kepentingan. Pertama, pemerintah harus memperkuat fungsi Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP).
Kedua, aparat penegak hukum, terutama KPK, harus memastikan supervisi pasca penindakan atau pengelolaan sistem pemerintahan di seluruh pemerintahan provinsi Riau berjalan transparan dan akuntabel. 
 
"Hal ini penting, tren yang berkembang petahana kerap menyalahgunakan kewenangan untuk mendanai biaya kampanye politik mendatang," ungkap Kurnia.
 
Sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil sebagai tersangka. Hal ini setelah politikus PDI Perjuangan itu terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, pada Kamis (6/4).
 
Selain M. Adil, KPK juga menjerat dua pihak lainnya sebagai tersangka, keduanya yakni Kepala BPKAD Pemkab Kepulauan Meranti, Fitria Ningsih dan Pemeriksa Muda BPK Perwakilan Riau, M Fahmi Aressa. "Pada kesempatan ini, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (7/4) malam.
 
Alex menjelaskan, Muhammad Adil terjerat dalam tiga kasus dugaan korupsi. Kasus pertama, terkait pemotongan anggaran seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara negara atau yang mewakilinya tahun 2022 sampai 2023.   
Kasus kedua, dugaan korupsi penerimaan fee dari jasa travel umrah. Ketiga, kasus dugaan suap pengondisian pemeriksaan keuangan pada 2022 di Pemkab Kepulauan Meranti.
 
Bahkan, jelang tahun politik, terutama pemilihan kepala daerah serentak pada November 2024, KPK harus benar-benar mengawasi kepala daerah petahana yang akan mencalonkan diri kembali. "Kegiatan tangkap tangan terhadap kepala daerah aktif ini menjadi komitmen nyata kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK. Agar menjadi pembelajaran bagi para pejabat publik 
lainnya untuk tidak melakukan korupsi, yang ujungnya hanya akan merugikan keuangan negara, serta mendegradasi kesejahteraan dan perekonomian rakyat," tegas Alex. 
 
Muhammad Adil sebagai tersangka penerima suap melanggar pasal 12 huruf f atau Pasal 12 huruf a atau Pasal  12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20  Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 
 
Selain itu, Muhammad Adil juga sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
 
Sementara itu Fitria Ningsih sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang  Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 
M Fahmi Aressa sebagai penerima melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Puncak Arus Balik Sudah Terlewati

Selasa, 16 April 2024 | 13:10 WIB

Temui JK, Pendeta Gilbert Meminta Maaf

Selasa, 16 April 2024 | 10:35 WIB

Berlibur di Pantai, Waspada Gelombang Alun

Senin, 15 April 2024 | 12:40 WIB

Kemenkes Minta Publik Waspada Flu Singapura

Minggu, 14 April 2024 | 07:12 WIB

Kemenkes Minta Publik Waspada Flu Singapura

Sabtu, 13 April 2024 | 15:55 WIB

ORI Soroti Pembatasan Barang

Sabtu, 13 April 2024 | 14:15 WIB
X