BALIKPAPAN-Persoalan nilai ganti rugi tanah di wilayah yang bakal jadi Ibu Kota Nusantara (IKN) mendesak untuk diselesaikan. Sejumlah warga kecewa, nilai yang ditawarkan pemerintah dirasa belum memenuhi harapan. Ditambah, jika menolak harga yang ditawarkan, warga diarahkan berproses di pengadilan.
Sebuah spanduk berwarna kuning berukuran 3 kali 1 meter dibentangkan warga RT 10, Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Rabu (1/2) siang. Spanduk tersebut berisi penolakan terhadap nilai uang pengganti yang disiapkan pemerintah, untuk lahan yang terdampak pembangunan IKN, khususnya di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP).
Warga meminta, pemerintah menaikan nominal uang pengganti lahan yang terdampak proyek pembangunan IKN. Salah satunya adalah Sarina Natalina Gultom. Dia menegaskan menolak uang pengganti senilai Rp 190 ribu hingga Rp 200 ribu per meter untuk lahan yang sudah dia miliki sejak 2009 silam.
Dia menuntut uang ganti Rp 650-1 juta untuk setiap meter persegi lahan yang dia miliki. Total Sarina menguasai lahan seluas 28 hektare dengan alas hak berupa segel. Lokasinya berdekatan dengan Sumbu Barat dan akses menuju Istana Presiden.
“Kami menolak harga yang ditawarkan bukan berarti tidak setuju pembangunan IKN. Kami mendukung tapi kami juga ingin harga yang pantas,” jelas dia.
Tak Cuma soal harga, dia juga kecewa, pemerintah terkesan mengintimidasi warga pemilik lahan saat proses pembayaran di Kantor Kecamatan Sepaku, Desember 2022 lalu. Warga, sebut Sarina dipanggil satu per satu lalu disodorkan amplop berwarna putih, di dalam amplop tertera nominal harga yang akan dibayarkan pemerintah.
“Warga tidak diberi tahu rincian harganya. Jika menolak atau tidak sepakat dengan harga yang diberikan, mereka diarahkan untuk berperkara di pengadilan,” ujar perempuan 60 tahun ini.
Mendengar kata pengadilan saja, warga sudah membayangkan rumitnya prose pengurusan dan waktu yang panjang. Kondisi ini, membuat warga dengan terpaksa menerima harga yang ditawarkan. Dari 21 orang yang sudah dipanggil, sebagian menolak harga yang ditawarkan, sebagian lagi, memilih menerima.
“Sebagian warga kan tidak pernah berperkara di pengadilan. Mendengar kata pengadilan saja, mereka sudah terbayang bakal rumit dan panjang, sehingga mau tidak mau sebagian warga memilih menerima,” tutur Sarina.
Warga lain, Edy Dalimunthe juga menyampaikan kekecewaannya. Lahannya yang berada di pinggir Jalan Negara dihargai sama dengan warga yang posisi lahannya berada di dalam.
Ia mengaku sudah dipanggil oleh pemerintah dan disodorkan nominal uang pengganti. Jika dihitung, Edy menyebut nilainya Rp 225 ribu per meter persegi. Edy juga diminta berperkara di pengadilan jika tak terima dengan nominal yang tertera di dalam amplop.
“Saya hanya kecewa pemerintah tidak transparan soal harga. Ditambah ada kesan membuat takut dengan mengarahkan ke pengadilan jika tidak sepakat dengan harga tadi,” kata pria 45 tahun ini.
Sejatinya, saat sosialisasi warga diberikan sejumlah opsi penggantian lahan, mulai dari uang hingga lahan. Namun Edy menyebut mayoritas warga memilih uang. Padahal, saat itu belum disebutkan nominal penggatinya.
“Jadi kami tidak diberi tahu berapa rupiah per meter persegi, berapa per pohon tanaman kami. Itu saja yang kami kecewa,” ungkap dia.
Sementara Hamidah, warga yang juga tinggal di RT 10, Kelurahan Pemaluan ini harus merelakan tanah yang dia tinggali berpuluh tahun. Ia terlanjur menandatangani surat pernyataan pelepasan/penyerahan atas tanah atau penyerahan tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah pada 28 Desember 2022 kemarin.
Dalam surat tersebut, Hamidah menerima ganti rugi sebesar Rp 56 juta untuk sebidang tanah dengan luas 155 meter persegi. “Sertifikat saya juga sudah diambil oleh pemerintah,” kata Hamidah.
Ia mengaku, uang yang didapat tak mencukupi untuk mencari lokasi pengganti. Ia juga tak mengerti apakah nominal tersebut sudah termasuk penggantian terhadap bangunan yang dia miliki. “Kalau hanya segitu (Rp 56 juta) mana cukup untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar dia. (hul)